Gerakan pembaharuan ulama zuama di awal abad ke-20 di ranah Minangkabau berawal dengan kepulangan para penuntut ilmu dari Mekkah al Mukarramah, yang umumnya adalah murid dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawy (Imam Masjidil Haram Mekkah Almukarramah), telah ikut memberikan sumbangan bagi pencerahan pemahaman dan dan pengalaman syari’at Islam, dan mendorong bagi munculnya perdebatan-perdebatan umum yang diikuti para ulama, kaum terpelajar, dan ahli-ahli adat, dan ikut pula membukakan kesempatan bagi lahirnya berbagai jenis perkumpulan yang bertujuan memperdalam ilmu agama dan adat istiadat, serta mendorong tumbuhnya pendidikan Islam, madrasah-madrasah sampai ke nagari-nagari, dan berdiri pula berjenis organisasi pergerakan, seperti Tarbiyah Islamiyah, Adabiyyah, Muhammadiyah, dan meluas sampai ke semenanjung Malaya, dibawa oleh Syekh Taher Djalaluddin yang lebih banyak melaksanakan da’wahnya di tanah semenanjung itu.
Yang juga tak bisa diabaikan adalah timbulnya pergolakan-pergolakan kecil di beberapa tempat. Hal ini menyiratkan dinamika masyarakat adat dan agama di dalam membangun masyarakat di Minangkabau yang sedang mengalami perubahan, menumbuhkan keinginan baru untuk melakukan proses pemeriksaan kembali terhadap nilai-nilai kultur yang dipunyai. Arah perubahan sosial sedang terjadi menuju suasana merebut kemerdekaan dan menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia setelah berakhirnya penindasan panjang 350 tahun dijajah Belanda, dan beralihnya kekuasaan kepada Dai Nippon.
Fatwa ulama dan zuama ikut membentuk dinamika sejarah dan pemikiran Islam di ranah Minangkabau bergerak cepat. Bahasan-bahasan perkembangan politik di Mesir dan Turki masa itu ikut mendorong kepada pencarian model yang sesuai dengan kondisi Indonesia, dan menuntut sikap beragama yang rasional, serta menumbuh-kembangkan semangat kemerdekaan dalam berbangsa dan bernegara.
Pembaharuan Islam di Minangkabau bukan semata terbatas pada kegiatan serta pemikiran saja, tetapi menemukan kembali ajaran atau prinsip dasar Islam yang berlaku abadi yang dapat mengatasi ruang dan waktu.
Sementara itu usaha-usaha pembaharuan yang praktis, baik dalam bentuk sekolah dan madrasah-madrasa atau pun kerajinan desa mulai bermunculan. Kaum pembaharu pemikiran Islam berusaha mengembalikan ajaran dasar agama Islam dengan menghilangkan segala macam tambahan (bid’ah) yang datang kemudian dalam din/agama, dan dengan melepaskan penganut Islam dari kejumudan, kebekuan dalam memahami masalah-masalah dunia.
Mereka berusaha memecahkan tembok tambaha dan jumud itu agar dapat menemukan kembali isi dan inti ajaran islam yang sesungguhnya, yang menurut keyakinannya menjadi cahaya yang dapat menyinari alam ini. Kaum pembaharu berkeyakinan bahwa bab al-ijtihad, masih tetap terbuka; mereka monolak taqlid. Ijtihad membawa kaum pembaharu untuk lebih memperhatikan pendapat. (Baca juga: Pelajaran dari Surau)
Keinginan untuk keluar dari situasi yang dianggap tidak sesuai dengan gagasan-gagasan yang ideal menghadapkan Minangkabau pada pilihan-pilihan yang kadang-kadang saling bertentangan. Model barat mungkin baik, tetapi dapat berarti ancaman pada dasar-dasar agama dan adat. Perubahan yang sesuai dengan ajaran Islam yang ortodoks memang merupakan pemecahan. Tetapi bagaimana pula dengan lembaga adat yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau? Dan apa pula contoh yang bisa diikuti? Tetapi parameter adat sangat terbatas dan bias menutup jalan ke dunia maju dan mungkin pula menghadapkan diri pada masalah dosa dan tidak berdosa, soal batil dan haq.
Oleh: Buya H. Mas’oed Abidin
Sumber: Tiga Sepilin, Surau Solusi Untuk Bangsa (hal 206 – 208)
wordpress theme by initheme.com